Rabu, 11 Maret 2009

KISAH SUKSES LEK KAMPRET

Lek Kampret adalah nama panggilan. Nama sebenarnya saya tidak tahu. Sehari-harinya dia memang akrab dipanggil dengan nama itu. Apakah arti sebuah nama? Toh kita tidak akan membahas masalah nama. Kita akan membahas KISAH SUKSES Lek Kampret.

Suatu ketika Lek Kampret pernah bertutur kepada saya tentang perjalanan hidupnya. "Saya anak yatim. Ayah saya meninggal sejak saya belum sunat..." tuturnya. "Ayah saya dari awalnya tidak punya sawah, hanya buruh tani.... sampai meninggal pun tetap tidak punya sawah... jadi tidak ada warisan buat saya dan kakak perempuan saya..." akunya. Tampak ia terbawa pada kenangan masa lalu. "Karena ibu saya tidak mampu membiayai sekolah saya, saya dititipkan pada paman saya... Di rumah paman, saya sangat tidak kerasan. Praktis saya dianggap sebagai babu. Saya harus mencarikan rumput untuk makanan ternak, ke sawah membantu membajak, mencangkul, mencari kayu bakar... di rumah masih harus menyapu dan mencuci piring... tidak ada waktu untuk bermain... berat sekali saya rasakan...," kenangnya.

Suatu hari, ia mendapat berita bahwa ibunya sakit. Ia diminta untuk pulang. Ia minta izin pada pamannya, pamannya memperbolehkan. Tetapi jarak rumahnya cukup jauh, sekitar 15 kilometer. Tentu cukup melelahkan kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Maka ia beranikan diri untuk memimjam sepeda milik pamannya. Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkannya. Pamannya malah memarahinya. "Beraninya kamu meminjam sepeda... Memangnya kalau rusak kamu punya uang untuk mengganti....?" Kata-kata itu terasa lebih menyakitkan daripada tamparan yang sering didapatkan ketika melakukan kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari.

Kampret kecil akhirnya pulang dengan berjalan kaki. Perjalanan yang jauh dan melelahkan. Seperti perjalanan hidupnya. "Beginilah nasib kalau lahir dari keluarga miskin...," pikirnya dalam hati. "Anak-anakku tidak kelak tidak boleh mengalami nasib seperti ini..."

Singkat cerita, setelah ibunya sembuh, kampret tidak mau kembali ke rumah pamannya. Tidak ada yang bisa membujuknya untuk mau kembali ke rumah penuh penderitaan fisik dan batin itu. Kampret kecil bertekat untuk bangkit, membangun harga diri dan membangun ekonominya. "Saya harus belajar dari kegagalan orang tua saya," katanya.

Karena tidak mempunyai sawah, orang tuanya hanya menjadi buruh tani. Dan, gagal secara ekonomi. "Saya tidak akan mencangkul sawah kalau bukan sawah saya sendiri," ikrarnya. Maka Kampret kecil mencoba membantu ekonomi keluarganya tidak dengan bekerja di sawah. Ia mencari kayu bakar di hutan, kemudian dijual kepasar. Begitu terus dia lakukan setiap hari. Akhirnya ia bisa menabung. Hasil tabungan dibelikan anak sapi untuk dipelihara. Sapi itu beranak hingga menjadi banyak. Suatu ketika keluarganya membutuhkan uang untuk merenovasi rumah tinggal mereka yang hampir roboh. Ia menjual sapinya, tetapi tidak kepada pedagang, melainkan langsung disembelih sendiri. Dagingnya dijual ke pasar dan ke penduduk di sekitar rumahnya. Ia tahu ternyata dari penawaran pedagang dengan hasil yang diperoleh ketika ia menjual daging mempunyai selisih yang cukup besar, maka ia bertekat untuk menjadi pedagang sapi.

Sekarang Lek Kampret adalah seorang pedagang sapi terkenal. Rumahnya terbilang sangat megah untuk ukuran kampungnya. Sawahnya berhektar-hektar, sampai-sampai pihak pemerintah desa tidak memperbolehkannya untuk membeli sawah lagi.

Ketika saya tanya apa yang membuat dia sukses. "Perlakuan dan hinaan dari paman sayalah sebenarnya yang membuat saya bisa seperti sekarang ini," jawabnya.